Selasa, 23 Juni 2009

TANTANGAN PENDIDIKAN DALAM KONDISI INDONESIA


Indonesia adalah negara besar yang berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa dengan wilayah yang terdiri dari ribuan pulau dan kepulauan. Letaknya sangat strategis di antara benua Asia dan Australia dengan iklim tropis memiliki dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Indonesia kaya dengan sumber-sumber daya alam baik dalam bumi berupa hasil-hasil pertambangan, di atas bumi tanam-tanaman sumber bahan makanan dan industri, dan dalam laut berupa bermacam-macam biota laut.

Semua ini merupakan komoditi ekspor utama Indonesia semenjak zaman penjajahan. Setelah merdeka, bebas dari penjajahan, pembangunan Indonesia dimulai melalui tiga periode : 1956-1965 di bawah pemerintahan presiden Soekarno, 1967-1997 di bawah pemerintahan orde baru Suharto, dan periode reformasi sekarang yang belum jelas hasil-hasil pembangunannya..

Tetapi kemerdekaan politik yang telah direbut tahun 1945-1948 oleh para pejuang pahlawan bangsa tidaklah otomatis menjadi kemerdekaan ekonomi, sedangkan kemerdekaan politik tanpa kemerdekaan ekonomi adalah fiktif. Sampai sekarang perekonomian nasional kita masih terkebelakang, di mana sektor industri sebagai ciri kemajuan suatu bangsa belum memegang peranan yang penting baik dari sumbangannya terhadap GDP maupun dalam menciptakan lapangan pekerjaan, bahkan akhir-akhir ini ada yang berpendapat terjadinya deindustrialisasi di Indonesia.

Sektor pertanian masih berupa pertanian subsisten yang tidak tersentuh oleh teknologi, karena tidak ada pembaharuan sosial di daerah pedesaan. Akibatnya terjadi urbanisasi besar-besaran angkatan kerja muda dari daerah pedesaan untuk menjadi buruh di sektor industri dan jasa di perkotaan yang terbatas pula daya tampungnya. Sebagian dari mereka „ creatre it’s own demand” menjadi pedagang kaki lima, pemulung dan lain-lain pekekrjaan yang tidak produktif, atau menjadi penganggur.

Dan hampir semua tenaga kerja ini tidak terampil, atau terdidik tapi tidak termapil, bahkan sebagian besar tidak tedidik dan tidak terampil. Mereka hidup di perkotaan dengan mengandalkan pada penghasilan tingkat upah minimum.

Proses pemiskinan terjadi baik di daerah pedesaan lebih-lebih di daerah perkotaan dan pengangguran terbuka mencapai perosentase yang besar dari angkatan kerja ditambah lagi dengan jumah setengah menganggur baik menurut jam kerja maupun menurut pendapatan. Kalau setengah menganggur ini dikonversiakan pada pengangguran penuh ditambah dengan prosentase pengangguran penuh yang ada bisa mencapai 50 persen dari jumlah angkatan kerja kita penganggur.. Suatu prosentase yang fantastis.

Negara memiliki beban hutang luar negeri luar biasa besarnya sebagai warisan orba, yang mencapai lebih dari US$145 milyar. Ini mewajibkan pemerintah menyediakan devisa untuk membayar bunga dan cicilan pokoknya melampaui government saving. Ini mempengaruhi langsung pada anggaran negara untuk pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial lainnya bagi masyarakat.

Krisis ekonomi yang dimulai dengan krisis moneter 1997 tidak kunjung pulih, di mana negara-negara Asia lainnya telah pulih hanya dalam 2-3 tahun.Dalam kondisi seperti ini, sektor pendidikan mengalami tantangan-tantangan yang besar, ditambah lagi dengan adanya tuntutan-tuntutan dari perubahan-perubahan lingkungan gelobal, bergesernya ekonomi industri ke ekonomi pengetahuan (knowledge economy) , inovasi dan kemajuan teknologi yang mempengaruhi tuntutan pendidikan, tuntutan kompetensi dalam dunia kerja yang berubah, berkembangnya otonomi daerah yang tidak hanya sekedar aspek politik, tetapi harus mempunyai manfaat ekonomi dan pembangunan umumnya; sumber-sumbr daya alam yang makin terbatas, dan lain-lain.. Untuk itu diperlukan paradigma baru dalam bidang pendidikan dari tingkat dasar, menengah sampai pendidikan tinggi. Paradigma baru tersebut mungkin menyangkut pemikiran tentang masalah-masalah berikut ini:

  1. Perkembangan pemikiran pendidikan di Indonesia semenjak kemerdekaan hingga saat ini tampaknya belum menemukan konsep pendidikan yang dapat digunakan dalam jangka panjang.
  2. Adanya otonomi daerah tidak boleh meninmbulkan frgamentasi kebijaksanaan pendidikan nasional, walaupun hanya terbatas pda pendidikan tingkat dasar dan menengaah.
  3. Ada pendapat untuk mengatasi kemandekan pemikiran pendidikan, kita harus kembali pada pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Muhammad Syafei. Pemikiran itu pada masa lalu timbul dalam semangat politik non-cooperation terhadap penjajahan Belanda, dan untuk menumbuhkan nasionalisme dalam perjuangan mencapai kemerdekaan. Sekarang baik lingkungan nasional dan maupun lingkungan global sudah sangat berbeda. Indonesia sudah merdeka 62 tahun.
  4. Konsep dan pelaksanaan pendidikan di Eropah didasarka pada pada Link & Match antara University dan Industry modern, antara dunia pendidikan dengan dunia kerja; di Cina adalah belajar selama hidup atau LLL ( Life Long Learning) dan tepat waktu atau Just in Time Learning (JiTL), di Jepang kreativitas dan praktik dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Di Indonesia konsep dan pelaksanaannya bagaimana? Kalau kita mau mencontoh, yang mana yang lebih cocok dan mungkin bagi Indonesia.
  5. Dalam kurikulum pendidikan kita mana yng lebih baik: menggunakan kurukulum leading atau following. Dan dalam kurikulum, apakah strateginya banyak tapi dapat sedikit, atau sedikit tapi dapat banyak? Jangan dibebani murid-murid sekolah dengan terlalu banyak pelajaran, dan adanya anggapan bahwa beberapa mata pelajaran yang overlaping antara sekolah dasar, menengah pertama dan menengah lanjutan.
  6. Antara pendidikan dan kebudayaan sesungguhnya tidak dapat dipisahkan tidak hanya dalam konsep tetapi dalam kelembagaan, karena budaya itu adalah values bukan hanya artifact.
  7. Pendidikan adalah human investment antar generasi, karena itu perlu strategi jangka panjang, yang seharusnya tidak terbatas pada periode-periode satu pemerintahan, apalagi terbatas hanya pada periode seorang menteri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar