Selasa, 23 Juni 2009

TANTANGAN PENDIDIKAN KITA



Pendidikan Bagaimana Nasibmu?
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan ketika dimintai pendapatnya tentang perkembangan pendidikan Indonesia pernah berkata. “Jangan terlalu ribut soal kurikulum dan sistemnya. Itu semua bukan apa-apa, justru pelaku-pelakunya itulah yang lebih penting diperhatikan,” Sebagai mantan Mentri Pendidikan beliau tentu sadar betul bahwa kualitas gurulah yang justru menjadi permasalahan pokok pendidikan dimana pun. Baik itu di Indonesia, di Jepang, Finlandia, di AS, di manapun di dunia ini kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas gurunya, bukan oleh besarnya dana pendidikan dan juga bukan oleh hebatnya fasilitas. Jika guru berkualitas baik maka baik pula kualitas pendidikannya.Contohnya adalah Finlandia, negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia, yang dengan serius menjaga kualitas gurunya.


Guru-guru Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima, lebih ketat persaingainnya ketimbang masuk ke fakultas bergengsi lainnya seperti fakultas hukum dan kedokteran! Bandingkan dengan Indonesia yang guru-gurunya dipasok oleh siswa dengan kualitas seadanya dan dididik oleh perguruan tinggi dengan kualitas seadanya pula.Dengan kualitas mahasiswa yang baik dan pendidikan dan pelatihan guru yang berkualitas tinggi tak salah jika kemudian mereka dapat menjadi guru-guru dengan kualitas yang tinggi pula. Dengan kompetensi tersebut mereka dengan mudah menggunakan metode kelas apapun yang mereka suka, dengan kurikulum yang mereka rancang sendiri, dan buku teks yang mereka pilih sendiri. Tak ada permasalahan dengan kurikulum apa pun yang mereka inginkan. Dengan koki yang hebat bahan makanan seadanya bisa menjadi masakan yang enak dan menarik sedangkan orang yang tidak bisa memasak hanya akan merusak bahan makanan yang sebaik apa pun.
Celakanya, meski kita tahu benar fakta dan kenyataan tersebut tapi sampai saat ini belum ada usaha terobosan dari Depdiknas untuk mengubah input kualitas mahasiswa yang akan menjadi guru kelak dan sekaligus mengubah sistem pendidikan dan pelatihan guru yang ada di LPTK-LPTK yang ada. Belum ada upaya terobosan untuk menarik siswa-siswa lulusan terbaik untuk masuk ke lembaga pendidikan tenaga keguruan dan belum ada upaya brilian untuk mengubah LPTK yang ada menjadi lembaga yang benar-benar mumpuni untuk mencetak guru-guru terbaik. Bahkan memanfaatkan perguruan tinggi terbaik di Indonesia agar dapat menjadi pemasok tenaga guru saja tidak. Padahal mencetak guru-guru berkualitas prima adalah tantangan dunia pendidikan sepanjang masa tapi pemerintah belum serius melakukan usaha menuju kesana. Sebetulnya semua mentri pendidikan sadar belaka mengenai hal ini tapi tetap tak ada satu pun upaya untuk menjadikan LPTK sebagai lembaga bergengsi dimana hanya ’best brains’ yang bisa masuk ke sana dan hanya dosen-dosen terbaik dengan fasilitas terbaik pula yang akan mendidik mereka agar mampu menjadi ’best teachers’.Finlandia jelas telah melakukan ini dan mereka telah memetik hasilnya.
Malaysia juga telah melakukan hal yang sama dengan program ‘five-year degree programme “tailor-made” for top sijil Pelajaran Malaysia” dimana pemerintah Malaysia menjanjikan para lulusan sekolah menengah terbaik untuk memperoleh pendidikan di luar negeri jika mereka ingin menjadi guru Matematika dan Sains kelak. Dengan program ini mereka akan menjaring 500 lulusan terbaik untuk dikirim ke Australia dan Inggris dalam lima tahun ini. Sebelum dikirim ke luar negeri mereka akan digembleng dulu dalam program Foundation selama setahun di perti lokal terpilih di seluruh negeri dan diikuti dengan program preparatory selama dua tahun di univ. terkemuka sebelum mereka diberangkatkan ke luar negeri selama dua tahun untuk menyelesaikan master mereka. Dirjen Pendidikan Malaysia Tan Sri Abdul Rafie menyatakan bahwa angkatan pertama dari program ini menunjukkan hasil yang sangat baik. Mereka dipilih dari siswa-siswa yang memiliki nilai ujian dengan 7 dan 8 angka A. “We want only the best brains in the profession”, demikian katanya.Ini artinya bahwa negara-negara lain sangat serius memperhatikan kualitas pendidikannya dan tidak sekedar berretorika.Saat ini sangat banyak program beasiswa ditawarkan oleh berbagai lembaga dan industri tapi tak satu pun yang mencoba menawarkan beasiswa bagi lulusan terbaik untuk menjadi guru. Dunia pendidikan belum dianggap penting sehingga dianggap belum perlu mendapat tenaga kerja dari siswa-siswa terbaik.
Saat ini di AS telah dirasakan kebutuhan untuk memperoleh ’best brains’ bagi profesi guru dan berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai institusi. Melalui program Rhodes Scholarships yang prestisius, the Woodrow Wilson National Fellowship Foundation di Princeton menelorkan program yang diharap akan dapat menarik siswa-siswa terbaik untuk mau menjadi guru yang pada akhirnya akan dapat mentransformasi pendidikan guru di AS.“Research shows that providing excellent teachers is the single most important way to improve student achievement,” kata Arthur E. Levine, president yayasan tersebut. “But the quality of our teaching force today is not as strong as it needs to be, and our teacher preparation programs are too weak. We hope this program will produce significant improvement in both and provide models that the rest of the country will follow.”
Itu bukan satu-satunya upaya. Program lain seperti “Teach for America” dan ”The New York City Teaching Fellow”, juga telah melakukan hal yang sama dengan cara merekrut berbagai kandidat dari berbagai profesi untuk dilatih menjadi guru-guru berkualitas dengan program fellowships dan pelatihan keguruan selama 200 jam.Perguruan tinggi mana saja yang dilibatkan untuk mencetak guru-guru hebat ini? Woodrow Wilson program menawarkan 33 national Leonore Annenberg Teaching Fellowships pertahun, dengan beasiswa sebesar $30,000 per siswa/tahun untuk mengikuti ‘graduate education programs’ di Stanford, University of Pennsylvania, University of Virginia dan University of Washington.
Melalui program integratif antara lembaga pencetak tenaga keguruan, sekolah tempat magang, dan tiga tahun program mentoring setelah lulus diharapkan akan memberi warna yang berbeda pada tenaga keguruan di AS nantinya. “If they did all those things, we would have a radically different brand of teacher education,” kata Dr. Levine.
Apa yang bisa kita lakukan? Kita tinggal meniru mereka agar kita juga bisa mencetak guru-guru hebat dan bukannya guru-guru yang tidak kompeten seperti sekarang. Dirjen Dikti semestinya harus proaktif untuk mengajak lembaga dan industri untuk turut berpikir dan bekerja untuk mencetak para guru hebat ini demi menyelamatkan bangsa melalui pendidikan yang berkualitas. Tunggu apa lagi…?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar